WARTAKINIAN.COM - Polemik anggaran Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Tasikmalaya tahun 2025 senilai Rp34,7 miliar kembali mencuat dan menjadi sorotan publik.
Anggaran yang terbagi dalam skema penyedia dan swakelola tersebut dinilai janggal serta berpotensi pemborosan, salah satunya alokasi Rp3,1 miliar hanya untuk makan minum dan ATK.
DPC Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Tasikmalaya menilai hal itu tidak sejalan dengan semangat efisiensi dan reformasi birokrasi.
Menindaklanjuti sorotan publik dan pemberitaan yang viral, PWRI Kabupaten Tasikmalaya mengajukan audiensi dengan Komisi I DPRD Tasikmalaya dan pihak Setda pada Jumat (12/9/2025). Tujuannya jelas, meminta penjelasan rinci terkait dasar dan justifikasi penggunaan anggaran miliaran rupiah tersebut.
Namun, sejak awal proses, tanda-tanda ketertutupan sudah terlihat. Saat dikonfirmasi langsung, Sekretaris Daerah (Sekda) Mohammad Zen justru meminta PWRI Kabupaten Tasikmalaya melayangkan surat resmi untuk audiensi, dengan alasan menghindari tudingan intervensi. Bahkan Zen sempat melontarkan kekecewaannya terhadap internal Setda yang menurutnya tidak menghargai posisinya.
PWRI Kabupaten Tasikmalaya kemudian memenuhi permintaan itu dengan mengajukan surat kepada DPRD pada 2 September 2025. Setelah melalui mekanisme rapat Badan Musyawarah, audiensi baru dijadwalkan pada 12 September 2025.
Pada hari H, puluhan awak media hadir di Gedung DPRD Tasikmalaya dengan harapan mendapat jawaban terbuka. Namun, forum yang seharusnya menghadirkan Sekda, para Asisten Daerah, Kepala Bagian, Kepala BPKPD, dan Inspektur Daerah justru tidak dihadiri pejabat inti. Mereka hanya mengirim perwakilan masing-masing.
Absennya para pengambil kebijakan kunci membuat audiensi kehilangan substansi. PWRI Kabupaten Tasikmalaya menilai sikap tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan eksekutif dalam menjawab dugaan pemborosan anggaran. Merasa tidak dihargai, PWRI Kabupaten Tasikmalaya memilih walk out dari forum.
Ketua DPC PWRI Kabupaten Tasikmalaya, Chandra Foetra S, menegaskan walk out merupakan sikap tegas, bukan pengabaian. Pihaknya menuntut audiensi ulang yang wajib dihadiri langsung Sekda, Asisten Daerah, Kepala Bagian, dan instansi terkait, tanpa diwakili.
“Kami datang dengan itikad baik untuk mendapatkan penjelasan langsung, bukan dari perwakilan. Ini menyangkut anggaran publik yang nilainya sangat besar dan harus dipertanggungjawabkan secara terbuka,” tegas Chandra.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian dari DPRD terkait jadwal ulang audiensi. Publik pun menunggu langkah nyata para pemangku kebijakan: apakah berani membuka seluruh pos anggaran Setda secara transparan, atau terus menutup rapat-rapat penggunaan uang rakyat.(WN)