WARTAKINIAN.COM — Kasus pembunuhan berencana terhadap WD (21), perempuan muda asal Cibitung, Bekasi, yang tewas mengenaskan di tangan kekasihnya sendiri, kembali mencuat setelah pelaku MA (23) menjalani sidang pledoi di Pengadilan Negeri Cikarang, kamis (30/10/2025).
Sementara proses hukum terus berjalan, keluarga korban masih bergelut dengan luka dan kehilangan yang tak kunjung pulih.
"Saya hanya orang kecil, tidak paham hukum. Tapi saya mohon pelaku dihukum seberat-beratnya, karena sudah menghilangkan nyawa anak saya,” ujar Munasir, ayah korban, dengan suara bergetar di halaman PN Cikarang.
WD ditemukan tewas dengan luka tusukan di perut dan sayatan di leher serta tangan di rumah kontrakan pada 26 April 2025. Pelaku, MA, yang terbakar cemburu, tega menghabisi korban lalu kabur membawa motor dan barang pribadinya. Ia ditangkap sehari kemudian di Subang, Jawa Barat, oleh Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Pelaku dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati.
Namun di balik tuntutan dan vonis yang menanti, ada persoalan lain yang luput dari sorotan: nasib keluarga korban setelah keadilan di pengadilan selesai.
Pemerhati korban tindak pidana, Advokat Tres Priawati, S.H., menilai sistem hukum Indonesia masih terlalu berorientasi pada pelaku, bukan pada korban.
"Ketika pelaku ditangkap dan dipenjara, publik merasa keadilan sudah ditegakkan. Padahal, keluarga korban sering kali dibiarkan sendirian, tanpa dukungan hukum, tanpa pemulihan psikologis, bahkan tanpa ganti rugi dari negara,” tegas Tres.
Ia mengingatkan bahwa berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan PP No. 7 Tahun 2018, ahli waris korban pembunuhan berhak atas kompensasi dari negara, terutama jika pelaku tidak mampu membayar restitusi.
Namun dalam banyak kasus, termasuk tragedi WD, hak ini tidak pernah tersentuh.
Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Mengadili
Ketidaktahuan keluarga korban terhadap hak-hak hukum mereka memperlihatkan lemahnya sistem perlindungan korban di Indonesia.
“Jaksa penuntut umum seharusnya tidak hanya menuntut pelaku, tapi juga memastikan keluarga korban tahu dan mendapatkan hak kompensasi. Ini bagian dari tugas negara,” lanjut Tres.
Ia menegaskan, pemulihan bagi keluarga korban bukan hanya soal uang, tetapi pengakuan dan keadilan substantif.
"Pelaku memang sudah dihukum, tapi kami, keluarga korban, kehilangan segalanya. Kami butuh keadilan yang berpihak pada korban, bukan sekadar vonis di atas kertas,” ujarnya menirukan keluhan banyak keluarga korban.
LPSK dan Aparat Didorong Proaktif
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki mandat memproses kompensasi kepada korban tindak pidana berat, termasuk pembunuhan. Namun, banyak korban tidak tahu cara mengajukan permohonan.
Advokat Tres mendorong agar aparat penegak hukum, dimulai dari kepolisian, Kejaksaan, hingga pengadilan, selain melaksanakan hukum positif dengan menjatuhi hukuman terhadap pelaku, diharapkan proaktif pada psycho-sosial korban, peduli akan hak-hak korban, baik berupa restitusi maupun kompensasi.
"Negara tidak hanya hadir saat memvonis, tapi juga harus bersedia saat korban butuh pemulihan,” tandasnya.
(Tio)

